Langsung ke konten utama

Paras Media Massa 2016 Dalam Kacamata Etika Jurnalisme*

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana isi pemberitaan di media massa cetak sepanjang 2016. Penelitian berfokus pada koridor etika jurnalistik sebagai standar norma bagi media. Jika kini pers tidak lagi terbelenggu oleh tirani rezim pemerintahan yang otoritatif, apakah pers menjadi lebih baik? Apakah tanpa tekanan pers mampu menjaga fungsi dan hakikatnya sebagai pilar keempat demokrasi?

Penelitian diawali dengan membentuk tim peneliti. Koordinator penelitian kemudian bersama tim menentukan periode penelitian  yakni 12 bulan sepanjang 2016. Tim kemudian memilih objek yang akan diteliti dan kemudian disepakati ada 5 media cetak yang dipilih berdasarkan pertimbangan representasi atau keterwakilan media massa khususnya di Jawa Timur. Terpilihlah Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, Bhirawa, dan Sindo.
Melalui skema random sampling maka ditentukanlah sampel penelitian dari kelima media tersebut yakni antara 5-7 edisi setiap bulan selama 12 bulan.

Dari sampel terpilih tim peneliti menentukan 3 unit analisis dengan pertimbangan keterwakilan kategorisasi isi media dan terutama pertimbangan waktu. Unit analisis yang dipilih adalah teks berita, iklan, dan foto. Ketiganya dianalisis dengan melihat adanya pelanggaran etika jurnalistik dengan pedoman Kode Etik Jurnalistik. Sebagaimana diketahui ada banyak versi kode etik. Agar tidak tumpang tindih, maka digunakanlah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang lebih universal dan disepakati oleh lebih dari 20 organisasi profesi wartawan.

Hasil penelitian:
Bhirawa:
Kejanggalan yang terjadi umumnya berupa informasi yang tidak lengkap. Foto-foto yang dimuat kerapkali tidak mencantumkan caption, tidak disertai keterangan waktu, dan tidak berimbang antara foto dan berita.

Duta Masyarakat:
Pelanggaran hampir seluruhnya terjadi pada foto yang informasinya kurang lengkap. Yaitu tidak mencantumkan waktu peristiwa. Ini berefek pada akurasi informasi. Bisa saja, foto tersebut bukan foto berita yang saat itu terjadi, namun berasal dari arsip. Inilah pentingnya mencantumkan informasi berupa waktu (when).

Sindo:
Dari 3 kategori unit analisis, pelanggaran atau kejanggalan terbanyak ditemukan dalam iklan.
Misalnya pelanggaran kode etik Pasal 6 ayat b
#Iklan satu hingga dua halaman penuh
#Iklan dari perusahaan yang berada di grup yang sama misalnya iklan The Kids Voice, Rising Star, AMI Awards, Miss Indonesia, dst. Hal ini adalah efek dari konglomerasi media.
#Media digunakan untuk kepentingan politik pemiliknya
Misalnya kesepakatan Harry Tanoe dan Donald Trump.

Surya:
Dari 3 kategori, pelanggaran di harian Surya paling banyak ditemukan pada foto jurnalistik.

Pelanggaran umumnya pada Pasal 4 ayat c & d KEJ
# Sadis, mengandung kekerasan
# Melanggar taste & decency
# Melanggar norma kesusilaan
# Menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembaca
# Tidak mencantumkan waktu pemberitaan

Kejanggalan atau pelanggaran dalam kategori berita misalnya dengan
#Menyebutkan identitas korban & pelaku kejahatan;
#Opinionatif (opini wartawan);
#Pemilihan diksi yang tidak berperspektif gender (dicabuli, disetubuhi, digoyang).

Pelanggaran dalam kategori iklan:
Pemuatan iklan full 1-2 halaman.

Jawa Pos:
Pelanggaran banyak terjadi dalam kategori berita. Misalnya:
#Judul dan isi berita tidak sesuai
#Judul hiperbola

Dalam foto pelanggaran terjadi dalam bentuk memuat korban kejahatan kesusilaan/perkosaan.

JP juga sering menggunakan grafis yang kurang bernilai berita semata-mata untuk menarik perhatian atau kerumunan (crowd). Misalnya memuat gambar Angelina Jolie 1 halaman penuh saat Jolie- Piet bercerai. Ini tidak relevan dengan kebutuhan informasi masyarakat Indonesia namun menarik karena unsur selebritas.

JP juga melanggar karena berpihak atau tidak netral dalam pemberitaan tentang Dahlan Iskan. Seluruh berita tentang DI bernada positif.

Media Massa Sebagai Panglima
Secara komparatif terlihat bahwa Jawa Pos paling sedikit melanggar etika jurnalisme pada kategorisasi berita. Sementara pada media lain semacam Duta Masyarakat dan Bhirawa pelanggaran justru banyak terjadi pada foto berupa kurang lengkapnya informasi terutama informasi waktu. Sebaliknya pada harian Surya pelanggaran justru banyak terjadi pada teka berita. Misalnya judul yang tidak relevan dengan isi berita. Yang juga menarik adalah temuan bahwa pada harian Sindo kejanggalan banyak ditemukan untuk kategori iklan.

Temuan-temuan dari penelitian ini mengindikasi beberapa hal berikut. Pertama konvergensi teknologi memaksa industri koran bertarung dengan portal berita. Ini sungguh tidak mudah dan tidak seimbang terutama dalam aspek bisnis. Bisnis media cetak sangat bergantung pada kertas (yang harus dibeli), iklan, dan pelanggan. Sementara portal berita membutuhan biaya yang jauh lebih kecil karena menggunakan internet yang relatif lebih murah. Belum lagi budaya baca masyarakat Indonesia yang relatif rendah. Dengan kondisi ini maka industri media cetak berupaya sedemikian rupa menarik perhatian konsumen dan pengiklan. Misalnya dengan menciptakan kerumunan (crowd) melalui foto-foto yang kurang etis, mengandung kekerasan, porno, dsb. Etika tidak lagi menjadi pedoman penting karena jika koran mereka tidak laku, mereka tak akan mampu terbit lagi.

Kedua, konglomerasi media yang terjadi di Indonesia menimbulkan fenomena kepemilikan media yang memusat hanya pada kelompok-kelompok bisnis tertentu. Misalnya MNC Group memegang lisensi penyelenggaraan Miss World. Maka iklannya pun akan berputar di medianya sendiri. Hal paling kentara adalah pada afiliasi politik pemilik media yang muncul dalam isi pemberitaan atau foto. Misalnya diskusi Harry Tanoe dengan Donald Trump. Begitu pula dengan pemberitaan Jawa Pos tentang Dahlan Iskan yang sangat bias. Walaupun ini membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dengan metode analisis yang lebih tepat.

Ketiga, sampai hari ini masih banyak media atau jurnalis yang tidak berperspektif gender. Misalnya dalam memberitakan kasus perkosaan, masih ada media yang menulis dan memuat foto korban dengan gamblang. Begitu pula dengan diksi atau pilihan kata yang cenderung merendahkan korban.


Dari hasil penelitian ini, tampaknya dibutuhkan sosialisasi dan pelatihan mengenai etika jurnalisme kepada jurnalis dan redaktur. Jurnalisme sebagaimana diyakini banyak pihak, tidak akan mati. Walaupun harus mau beradaptasi dan berubah bentuk. Namun informasi yang berpegang teguh pada nilai-nilai etika sesungguhnya adalah salah satu nilai lebih jurnalisme cetak.***

*Penelitian ini dikerjakan untuk Program Media Review ISKI Jawa Timur tahun 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Media Sosial dan Perubahan Budaya Membaca Pada Remaja

Abstrak Berdasarkan Survei Data Global Web Index, Indonesia adalah negara yang memiliki pengguna sosial media yang paling aktif di Asia. Indonesia memiliki 79,7% pengguna aktif di media sosial mengalahkan Filipina 78%, Malaysia 72%, Cina 67%. Angka ini sejalan dengan  pertumbuhan statistik tentang perkembangan internet di Indonesia yang mencapai 15% atau 38,191,873 pengguna internet dari total populasi kita 251,160,124. Dari jumlah pengguna internet tersebut sejumlah 74% mengakses media sosial melalui mobile/smartphone dengan durasi penggunaan sekitar 2-3 jam per hari. Masih dari sumber data yang sama, Facebook masih merajai media sosial di Indonesia dengan jumlah pengguna mencapai 25% atau sekitar 62.000.000 orang. Setelah itu menyusul Twitter, Google Plus dan Linkedin. Data-data ini memperlihatkan kepada kita perubahan pola manusia mengonsumsi dan menggunakan media. Perubahan pola konsumsi dan penggunaan media ini pada akhirnya berkaitan dengan perubahan kebiasaan atau budaya ...

Teknologi, Media, dan Globalisasi

TEKNOLOGI, MEDIA, DAN GLOBALISASI Suprihatin Stikosa-AWS Perubahan citra teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif prakt i k hidup, kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian, dan ke tersedia an setiap saat . Surabaya, 2013 TEKNOLOGI, MEDIA , DAN GLOBALISASI Abstrak Revolusi komunikasi berkembang dengan dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia (Rogers, 1986; Naisbitt, 2001; Straubhaar, 2002). Ketika informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat, maka masyarakat mulai “mau tidak mau” membuka diri pada media massa dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi , dan distribusi informasi , semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global , yang didukung oleh kekuatan dan eks...