Abstrak
Untuk melihat bagaimana
kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, Dewan Pers mengadakan survei indeks
kemerdekaan pers. Survei dilakukan di 24 provinsi di Indonesia, yang dipilih
berdasarkan pertimbangan keterwakilan atau representasi daerah, atau catatan
tentang kasus pers yang pernah terjadi di daerah itu. Survei dilakukan dengan
menggunakan instrumen berupa kuisioner tertutup yang diisi oleh para informan
ahli dan kemudian hasilnya divalidasi dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus.
Hasil dari survei menunjukkan bahwa indeks kemerdekaan pers saat ini berada
dalam posisi sedang. Di beberapa daerah catatan indeks kemerdekaan pers masih rendah.
Tercatat
lima [5] indikator utama yang dianggap oleh para informan berpotensi mengancam
kemerdekaan pers yaitu (a) independensi media dari kelompok kepentingan [56.14]
(b) tata kelola perusahaan [57.63], (c) independensi lembaga peradilan [59.33]
(d) etika pers [60.85] dan (e) kehadiran lembaga penyiaran publik [61.25].
Kata kunci:
kemerdekaan pers, survei, dewan pers.
Abstract
In
mid of 2017, Dewan Pers Indonesia conducted a survey of Indonesian press
freedom index. The survey was conducted in 24 provinces in Indonesia, selected
based on consideration of representation or regional representation, or press
cases that have occurred in the area. Surveys were conducted using
questionnaire instrument filled by expert and then the results validated in two
times focus group discussions. The results of the survey show that the press
freedom index is currently in a sufficient position. In some regions the index
of press freedom is still low. Listed five [5] main indicators considered by
informants have the potential to threaten the freedom of the press are: (a)
media independence of interest groups [56.14] (b) internal factor: corporate
governance of the media [57.63] (c) independence of the judiciary [59.33] (d)
ethics of the press [60.85] and (e)
the presence of public broadcasters [61.25].
Keywords: freedom of press, survey, Dewan Pers.
Pendahuluan
Pelaksanaan
demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia bagi beberapa kalangan dianggap
belum cukup berhasil. Indikatornya dilihat dari persoalan-persoalan yang terjadi
di masyarakat: korupsi, penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi,
bertumbuhnya sikap anti pluralisme, menjamurnya kelompok-kelompok radikal, dan
berbagai persoalan sosial lainnya. Meski rezim pemerintahan yang otoritarian
sudah berhasil ditumbangkan, namun berbagai problem sosial belum sepenuhnya
berhasil ditangani oleh pemerintah. Salah satu tolok ukur yang dapat dijadikan
indikator keberhasilan pelaksanaan demokrasi adalah kemerdekaan pers. Semakin
demokratis sebuah negara, maka kondisi kemerdekaan pers di negara tersebut
semakin baik. Sebaliknya, ketika pemerintah yang sedang berkuasa menggunakan
sistem otoritarian maka sudah pasti pers di negara tersebut semakin
terbelenggu. Pers yang merdeka, akan mampu memenuhi kebutuhan warganegara atas informasi.
Pers, juga dapat memfasilitasi masyarakat menyatakan pendapatnya (giving voice to the voiceless). Kondisi
pers yang sehat, dapat membantu warga negara mengontol pemerintah dan mengawasi
pejabat pemerintah yang bekerja dalam persoalan-persoalan yang menyangkut hajat
hidup masyarakat.
Sekian tahun sudah
berlalu sejak keran kemerdekaan pers dibuka pada 1999. Apakah kondisi pers kita
saat ini sudah jauh lebih baik? Indonesia sempat mendapat penghargaan sebagai
negara dengan kemerdekaan pers terbaik di Asia. Namun apakah hal itu
merepresentasi kondisi yang ada di lapangan? Sesungguhnya belum ada indikator
yang memberikan gambaran lengkap mengenai situasi kebebasan pers dan
capaian-capaian yang telah dilakukan pemerintah
Indonesia. Indikator yang kerap dijadikan rujukan adalah lebih cenderung
berupa gambaran situasi kebebasan pers antarnegara. Indikator semacam itu tidak
cukup memberi gambaran spesifik mengenai elemen-elemen dari Kemerdekaan Pers
yang problematis atau yang telah tersedia dengan baik. Hal ini bisa dilihat
dari ranking kemerdekaan pers Indonesia yang berada di bawah Singapura dan
Malaysia yang hingga saat ini masih menerapkan hukum drakonian.
Untuk mendapatkan
informasi yang lebih spesifik dan mendekati fenomena di lapangan, Dewan Pers
pada periode 2010-2013 mencoba menyusun Indeks Kemerdekaan Pers. Upaya itu
dilanjutkan oleh Dewan Pers periode 2013-2016 di bawah kepemimpinan Yoseph Adi
Prasetyo, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers saat itu. Dasar berpikir yang digunakan
dalam survei tersebut adalah bahwa Kemerdekaan Pers merupakan hak asasi
manusia. Hak atas kemerdekaan pers
merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam
UUD 1945 dan sejumlah UU turunannya: Undang Undang Hak Asasi Manusia no.39/1999,
Undang Undang Pers No. 40/1999, dan Undang Undang No. 12/2005 yang meratifikasi
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Bagi Dewan Pers, urgensi
penyusunan IKP berkaitan dengan
peningkatan kualitas hidup manusia; dimana pemenuhan hak atas informasi menjadi
salah satu tolok ukur. Akhir-akhir ini isu Kebebasan Pers semakin dianggap
penting untuk masuk dalam ukuran capaian dan keberhasilan pembangunan seperti Sustainable Development Goals (SDG’s).
Di samping itu sebagai bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Indonesia
memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan atas situasi kebebasan pers, dan
hambatan terhadap akses/penyebaran informasi bersama hak-hak sipil lain melalui
universal periodic review (UPR)
kepada komite HAM PBB. Dalam kaitan ini, IKP bertujuan memberi gambaran bagaimana
negara berupaya menjalankan kewajibannya, sesuai hukum HAM. Pengukuran melalui
indeks ini menjadi penting karena dapat menggambarkan fenomena yang abstrak menjadi
konkret melalui kuantifikasi atau angka
tertentu. Melalui model indeks, data yang beragam diukur dan dikompilasi ke
dalam ukuran-ukuran tertentu atau angka tunggal. Indeks juga dianggap memberikan
kemudahan dalam melakukan perbandingan, baik perbandingan antar waktu ataupun
antar wilayah dan negara.
Apa tujuan
dilakukannya survei? Survei Indeks Kemerdekaan Pers bertujuan memetakan dan
memonitor perkembangan (progress/regress)
dari pelaksanaan hak Kemerdekaan Pers. Kedua, hasil survei dapat menjadi sarana
guna meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya kemerdekaan pers. Survei
IKP juga dapat membantu pemerintah mengidentifikasi prioritas-prioritas yang
perlu dilakukan untuk meningkatkan kemerdekaan pers. Selain tujuan-tujuan
tersebut hasil survei IKP dapat memfasilitasi tersedianya bahan kajian empiris
untuk advokasi Kemerdekaan Pers berbasis HAM.
Metode
Survei IKP
Untuk pelaksanaan IKP 2015 yang
dilaksanakan pada tahun 2016, Dewan Pers hanya melakukan pengumpulan data dan
penyusunan Indeks di 24 provinsi di Indonesia. Pemilihan locus penelitian ini
didasari kriteria dan pertimbangan berikut:
(a) Di provinsi tersebut banyak ditemukan
masalah kemerdekaan pers. Indikatornya berupa tingginya frekuensi pengaduan dari
masyarakat maupun tingginya angka kekerasan terhadap pers (dan jurnalis);
(b) Proporsionalitas antara provinsi
di pulau Jawa dan luar pulau Jawa;
(c) Proporsionalitas keterwakilan Indonesia
barat, tengah, dan timur;
(d) Daerah-daerah tersebut belum
menjadi sasaran sosialisasi Dewan Pers terkait IKP sebelumnya.
Atas dasar pertimbangan
tersebut maka ditetapkan beberapa lokasi penelitian yaitu Aceh, Sumatera Utara,
Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DKI, Banten, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur,
Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat.
Dengan menggunakan
teknik sampling purposive, survei IKP
ini menyasar para informan ahli yang dianggap memiliki kompetensi untuk
memberikan penilaian secara objektif. Untuk menjamin sikap objektif tersebut,
survei ini mensyaratkan ini mensyaratkan bahwa informan yang dijadikan informan
paling sedikit memiliki pengetahuan dan atau pemahaman baik sebagai praktisi
atau sebagai akademisi/peneliti di bidang yang bersangkutan selama 5 tahun dan
memiliki kapasitas reflektif atas persoalan dalam bidang kemerdekaan pers.
Dalam hal ini koordinator di tingkat provinsi berdiskusi dengan tim peneliti
untuk menentukan siapa yang dipilih sebagai informan. Usulan koordinator
peneliti kemudian didiskusikan dengan tim peneliti nasional di Dewan Pers.
Selain dengan
metode survei, pengumpulan data juga dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) yang
merupakan forum untuk memvalidasi informasi yang sudah diberikan oleh para
informan ahli saat survei. FGD juga bertujuan mengumpulkan data-data sekunder
yang berkaitan dengan persoalan kemerdekaan pers yang belum muncul pada saat
survei.
Metode pengumpulan
data dalam survei dilakukan melalui wawancara dan pengumpulan data sekunder.
Semua informan ahli diwawancarai secara langsung dan diminta untuk menjawab
pertanyaan yang telah disediakan dengan memberi skor dengan skala 0 – 100 pada
pertanyaan yang dijawabnya, dengan kategori: a) Buruk sekali pada angka 0-30
[tidak bebas] b) Buruk pada angka 31-55 [kurang bebas] c) Sedang pada angka 56-69
[agak bebas] d) Baik pada angka 70-89 [cukup bebas] e) Baik sekali 90-100
[bebas].
Pada survei tahun
2016 ini wawancara dilakukan terhadap 303 orang. Sementara data-data
dikumpulkan oleh peneliti provinsi maupun peneliti nasional. Informan berasal
dari beraneka ragam latar belakang pekerjaan seperti advokat/pengacara,
akademisi, jurnalis, komisioner lembaga (KPU, KPID, KIP), organisasi
non-pemerintah, politisi, TNI/Polri, wiraswasta dan karyawan swasta. Di antara
informan ahli ini 81.8% adalah laki-laki dan 18.2% adalah perempuan. Tidak
semua informan yang direncanakan dapat diwawancarai – sebagian karena pindah
tugas, sebagian karena tugasnya harus sering berpergian, sebagian lagi karena
dianggap tidak memenuhi syarat sebagai informan-ahli sehingga datanya harus
dicabut atau diganti dengan informan ahli lain.
Pembahasan:
Hasil Survei IKP
Kemerdekaan pers
sering diidentifikasi sebagai sebuah dikotomi belaka: bebas atau ‘bablas’
(terlalu bebas). Dikotomi semacam ini tidak dapat mengukur kondisi yang ada di
lapangan dan sangat asumtif. Hasil dari survei IKP menunjukkan bahwa menurut
pandangan informan ahli di daerah, aspek-aspek yang menyangkut kebebasan
berserikat, kebebasan mendirikan dan mengoperasikan perusahaan, kebebasan dari
kriminalisasi dan intimidasi dari negara terhadap media serta jurnalisme warga
dipandang baik; namun persoalan-persoalan yang menyangkut akses kelompok rentan
terhadap media dan penghargaan pemerintah terhadap profesionalisme pers masih
dianggap buruk.
Indeks Kemerdekaan
Pers Indonesia dari hasil survei berada dalam posisi agak bebas [62.81] pada bidang hukum, politik, dan ekonomi.
Indeks Kemerdekaan Pers kumulatif di 24 provinsi di Indonesia berada dalam
posisi agak bebas. Posisi ini dipandang oleh Dewan Pers tidak cukup aman karena
‘hanya’ dua indikator-utama yang relatif aman. Ada lima [5] indikator utama
lain yang mengancam memperburuk kemerdekaan pers yaitu (a) independensi media
dari kelompok kepentingan [56.14] (b) tata kelola perusahaan [57.63], (c)
independensi lembaga peradilan [59.33] (d) etika pers [60.85] dan (e) kehadiran
lembaga penyiaran publik [61.25]. Sementara sembilan [9] indikator lain yang
menyangkut (a) akses kelompok rentan pada media, (b) penghargaan pemerintah
terhadap profesionalitas media dan (c) ketergantungan perusahaan pers pada
kelompok yang kuat, dianggap buruk atau buruk sekali.
Berkaitan dengan
independensi media, kemerdekaan pers dibayang-bayangi persoalan-persoalan
kemandirian perusahaan dari kepentingan ekonomi yang lebih kuat. Misalnya
intervensi pemilik bisnis pers dalam rapat redaksi, persoalan yang berhubungan
dengan rule of law [independensi
pengadilan, impunitas, mekanisme pemulihan], dan tata kelola perusahaan
termasuk tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah. Di sisi lain pers harus
berhadapan dengan toleransi wartawan terhadap suap [amplop] dan etika pers yang
belum cukup baik; serta pemberitaan yang mengancam profesionalisme wartawan.
Afiliasi media dengan partai politik atau calon kandidat [peserta pilkada]
memberi dampak buruk terhadap profesionalisme media. Pada tahun 2015, Dewan
Pers menerima ratusan kasus soal pelanggaran etik akurasi dan keberimbangan, di
mana media digunakan untuk menyerang kandidat lain atau mendukung kandidat
tertentu.
Kemerdekaan
Pers Antar Provinsi
Penelitian ini menemukan data bahwa indeks
kemerdekaan pers tidak terlalu merata. Kalimantan Barat, Aceh, Kalimantan
Selatan, dan Kepulauan Riau merupakan provinsi yang dianggap oleh informan ahli ‘cukup bebas’ [antara 70-89].
Dua provinsi yang dinilai ‘kurang bebas’ adalah Papua Barat dan Bengkulu. Sementara 18
provinsi-provinsi lainnya seperti Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Lampung,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI
Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, Riau, Maluku Utara, Sulawesi Selatan
dan Sumatera Barat dianggap ‘agak bebas’. Beberapa hal yang dinilai berpengaruh
membentuk indeks positif adalah lingkungan politik dan hukum. Misalnya di Jawa
Timur tidak ada perda yang berpotensi meng’ganggu’ kemerdekaan pers. Para
informan ahli juga melihat bahwa meningkatnya tren jurnalisme warga memberi
sumber informasi alternatif yang bermanfaat bagi publik. Berbanding terbalik
dengan Bengkulu yang kurang berkembang. Pada provinsi-provinsi yang ‘kurang
bebas’, terdapat beberapa indikator yang sangat problematis. Misalnya perhatian
media dan pemerintah terhadap kelompok marginal yang sangat buruk. Pemda belum
melihat kemerdekaan pers sebagai sebuah kebutuhan yang signifikan. Tantangan
lain di provinsi yang ‘kurang bebas’ adalah persoalan keragaman; terutama dalam
hal kepemilikan baik karena kurang transparan maupun karena adanya perusahaan
pers yang sangat mendominasi pemberitaan dan penyebaran informasi. Ada
kebutuhan informasi pada kelompok-kelompok rentan, namun belum ada niat baik
dari pengelola media maupun dari negara.
Kemerdekaan
Pers dan Penegakan Hukum
Indeks
Kemerdekaan Pers yang menunjukkan level ‘sedang’, bagi kalangan pers mengindikasi
bahwa kemerdekaan pers belum sepenuhnya dicapai. Kemerdekaan pers masih
dibelenggu terutama oleh aparat dan keberterimaan pers sebagai pilar keempat
negara. Sementara dari sisi khalayak, ada anggapan bahwa pers bukan hanya
bebas, namun ‘kebablasan’. Hasil penelitian Dewan Pers memperlihatkan bahwa di
beberapa daerah, pers tidak lagi dibelenggu oleh perda-perda yang membatasi
kinerja jurnalis. Ini sungguh kenyataan yang melegakan.
Berbagai
pers alternatif juga bertumbuhan sebagai wujud kebebasan berekspresi
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang. Namun demikian, di sisi lain masih
banyak persoalan pers yang belum dapat diselesaikan. Soal akses peliputan
misalnya. Masih ada jurnalis yang mengalami kekerasan atau dihalang-halangi
saat melakukan peliputan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sebanyak
44 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi sepanjang tahun 2015. Dari 44
kasus tersebut, 14 kasus kekerasan dilakukan oleh oknum polisi. Salah satu insiden kekerasan itu terjadi saat peristiwa
kerusuhan di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Banceuy, Bandung. Saat itu seorang
pewarta foto dari sebuah media daring (online) mendapatkan intimidasi dari
anggota Brimob Polda Jawa Barat. Foto-foto yang diambil dihapus oleh anggota
Brimob tersebut. AJI menilai tindakan yang diterima oleh jurnalis tersebut
adalah pelanggaran atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, karena
telah dianggap menghalangi kerja jurnalis. Institusi kepolisian yang seharusnya
melindungi kerja jurnalistik justru seringkali menghambat pekerjaan jurnalis.
Selain kasus-kasus
kekerasan dan sulitnya mendapat perlindungan hukum saat melaksanakan tugas, masih
banyak jurnalis yang dipaksa mencari iklan di samping mencari dan menulis
berita. Sebagian besar wartawan harus hidup
di bawah kondisi sejahtera karena perusahaan pers tempat ia bekerja tidak mampu
memberi gaji layak. Kemerdekaan pers juga terancam oleh kepentingan politik
pemilik atau pemodal media yang menjadikan perusahaan pers yang dimilikinya
sebagai alat untuk mencapai ambisi kekuasaannya. Pers terancam oleh kekuatan
modal yang bahkan bersumber dari dalam dirinya sendiri. Independensi media
bukan saja harus menghadapi kendala dari eksternal sebagaimana terjadi di era
orde baru. Independensi media kini lebih terbelenggu oleh
kepentingan-kepentingan internal sebagai sebuah entitas bisnis.
Media juga mesti
menghadapi ancaman dari para penegak hukum yang menolak menggunakan UU Pers dan
memilih menggunakan KUHP. Pemberitaan pers yang dinilai merugikan para pihak (damages have been done) seyogyanya
diproses melalui Dewan Pers atau pihak ombudsman dari media terkait. Proses
hukum untuk pers seharusnya juga bukan sebagai tindak perkara kriminal, namun
lebih sebagai perkara perdata dengan denda yang tidak diniatkan untuk membuat
perusahaan pers tersebut bangkrut karena tuntutan yang tidak wajar.
Kriminalisasi terhadap wartawan hendaknya dilakukan jika berita yang dianggap
bermasalah digunakan untuk memeras. Atau bersumber dari informasi hasil
fabrikasi, dan atau memiliki intense of
malice.
Freedom
of the press atau kemerdekaan pers yang diidam-idamkan
dan terus menjadi concern Dewan Pers
tahun-tahun belakangan ini sesungguhnya adalah kebutuhan kita bersama.
Kebebasan pers memungkinkan informasi yang tersebar di masyarakat menjadi
beragam, terbuka, dan transparan. Di lain pihak kondisi ini memang membawa
konsekuensi baik bagi pemerintah sebagai penyelenggara negara, legislatif,
maupun bagi masyarakat sebagai konsumen (Syah, 2014:5-6). Dalam konteks inilah
kita tidak cukup siap menghadapinya. Masyarakat menginginkan informasi yang
cepat dan akurat. Namun di saat yang sama sering berlaku anarkis jika
kepentingannya terusik.
Wibowo (2009:ix)
menyebut bahwa tantangan wartawan Indonesia pada abad ke-21 bermuara pada
dialektika dikotomis antara idealisme wartawan dan praktik institusionalisme
pers. Idealisme wartawan merujuk pada profesionalitas kinerja individual dan
pergulatan etis wartawan ketika mengonstruksi fakta dan realita menjadi sebuah
sajian yang disebut liputan jurnalistik. Sementara praktik institusionalisme
pers menggarisbawahi peran lembaga penerbit pers tempat wartawan bekerja.
Dikotomis antara
idealisme wartawan dan praktik institusionalisme pers sebenarnya bukan problem
terakhir bagi kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers kini juga terancam oleh
perkembangan teknologi dan informasi yang memungkinkan setiap orang menjadi
konsumen dan sekaligus produsen informasi. Media massa bukan lagi satu-satunya
sumber informasi yang kini tersedia tumpah ruah, hingga terkadang tak bisa lagi
dibedakan dengan sampah. Media massa agaknya perlu terus melakukan inovasi dan
perubahan, menyiapkan diri menghadapi konsumen generasi digital yang bukan
hanya menuntut hak atas informasi yang akurat dan cepat, tetapi juga etis,
berdaya guna, dan memberi nilai tambah pada penghidupan. Sungguh, pekerjaan
rumah yang tak mudah.***
Daftar
Pustaka
Batubara,
Sabam Leo. 2008. Menegakkan Kemerdekaan Pers. Dewan Pers: Jakarta.
Tim
Peneliti. 2016. Laporan eksekutif Survei Indeks Kemerdekaan Pers. Dewan Pers:
Jakarta.
Syah,
Sirikit. 2015. Journalism and Its Ethics
in The 21st Century. Semesta Rakyat Merdeka: Jakarta.
___________.
2014. Membincang Pers, Kepala Negara, dan
Etika Media. Elex Media Komputindo: Jakarta.
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika. Kompas Gramedia:
Komentar
Posting Komentar