Facebook
dan Relasi Sosial
Abstrak
Sebagai
sebuah platform yang awalnya hanya dirancang sebagai media komunikasi terbatas
bagi komunitas mahasiswa, Facebook kini mendunia. Beberapa hasil penelitian
menyebutkan tingginya penetrasi penggunaan akun Facebook termasuk di Indonesia.
Pada Januari 2010, Indonesia disebut sebagai negara dengan pengguna FB nomor
empat terbanyak di dunia. Sebuah peringkat konsumsi yang cukup fantastis.
Facebook bahkan berhasil mengalahkan Google dan Yahoo sebagai situs yang paling
banyak diakses oleh pengguna internet. Fenomena ini kemudian menarik ketika
muncul anggapan bahwa penggunaannya tidaklah produktif. Facebook membuat orang
kecanduan dan kehilangan identitas diri. Facebook merusak relasi sosial di
dunia nyata. Benarkah demikian? Bukankah seharusnya perkembangan teknologi
diciptakan untuk membantu kehidupan manusia? Lantas bagaimana seharusnya?
Artikel ini mencoba mengkaji fenomen Facebook sebagai sebuah diskursus termasuk
tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan benar.
Kata
kunci: internet, facebook, teknologi
Pendahuluan
Hasil
survai Markplus Insight tahun 2014 menyebutkan sembilan dari 10 netizen
Indonesia memiliki akun facebook. Tak peduli umur, profesi, maupun status
sosial ekonominya. Lebih dari setengah responden dari delapan kota besar di Indonesia
menyebut Facebook sebagai situs web yang paling sering mereka kunjungi. Pada
Januari 2010, Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna Facebook nomor
empat terbanyak di dunia. Oktober di tahun yang sama, naik peringkat menjadi
pengguna nomor tiga terbanyak setelah Amerika Serikat sebagai negara asal
pembuatnya, dan Inggris. Situs Alexa
bahkan menempatkan Facebook sebagai situs web nomor satu yang paling banyak
diakses oleh orang Indonesia melebihi Google dan Yahoo! Yang lebih mengesankan,
100 persen netizen Indonesia yang memiliki akun Facebook adalah pengguna aktif.
Facebook
berawal dari sebuah platform yang dibuat oleh Mark Zuckerberg untuk saling
berkomunikasi dengan mahasiswa lain di tempat ia kuliah. Hingga akhirnya
kemudian terbuka untuk umum. Faktor sosial budaya merupakan salah satu penyebab
mengapa kehadiran media sosial diamput dengan gegap gempita dan diterima dengan
cepat oleh masyarakat Indonesia. Sebelum adanya media sosial seperti Facebook
dan Twitter, penetrasi pengguna internet di Indonesia - cenderung lambat.
Menurut Internetworldstat, pada tahun 2000, jumlah pengguna internet di
Indonesia tercatat hanya dua juta orang. Itu artinya jumlahnya hanya satu
persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sejak kemunculan media sosial, penetrasi
penggunaan internet melonjak drastis. Hal ini tercatat pada tahun 2010 di mana
penetrasinya meningkat 15 kali lipat dengan jumlah pengguna mencapai 30 juta
atau 12,3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia[1].
Dengan
latar belakang fenomena meningkatnya penggunaan internet di kalangan masyarakat
Indonesia lantas bagaimana perkembangan Facebook sebagai media sosial? Apakah
ia mampu terus eksis atau menghuni museum digital dan punah seperti halnya
multiply dan Friendster? Mengapa di Indonesia Facebook begitu digandrungi? Apa
saja yang dilakukan netizen dengan akun Facebooknya?
Pembahasan
Sepuluh
level keintiman berkomunikasi abad internet menunjukkan bahwa Facebook berada
di urutan kedua dan ketiga melalui fitur update
status dan messanger. Sementara tradisi
bicara atau lisan kini justru menempati urutan paling terakhir. Data ini
memperlihatkan bagaimana media sosial menjadi sarana komunikasi yang
memperlihatkan keintiman di antara penggunanya. Ada kedekatan emosional yang
terbangun baik melalui status yang kemudian dikomentari atau diacungi jempol (like) juga melalui pesan langsung atau inbox. Merujuk pada pemikiran
Geert-Hofstede mengenai dimensi kultural, keintiman-keintiman yang terbangun di
kalangan pengguna Facebook maupun media sosial lainnya berakar dari budaya
masyarakat Indonesia yang komunal. Individualisme orang Indonesia adalah yang
terendah di dunia dengan nilai 14, di mana nilai rata-rata negara ASEAN adalah
23 dan Amerika merupakan negara dengan individualisme tertinggi dengan nilai
91. Menurut Hofstede, nilai individualisme yang rendah membentuk masyarakat
yang sangat kolektif. Orang yang dilahirkan dalam masyarakat seperti ini akan
tergabung dalam sebuah keluarga yang sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari
fenomena kelompok-kelompok tertentu yang bergabung atau didirikan karena
kesamaan minat atau hobi. Facebook memfasilitasi hasrat berkelompok ini dengan
sangat baik melalui aplikasi grup atau halaman.
Di
dunia maya, bertebaran komunitas berbasis minat maupun ide. Budi Sugiharto,
Kepala Biro detik.surabaya.com memfasilitasi terbentuknya pocketgraphy communities melalui Facebook bagi warga di sekitar
perumahan tempat ia tinggal. Lewat komunitas tersebut anggotanya tidak banya
saling berteman, namun juga saling belajar mengenai fotografi, hunting bareng,
diskusi foto, dan saling memberi komentar jika ada anggota yang lain mengunggah
hasil karyanya melalui Facebook. Keintiman netizen di dunia maya juga bisa dilihat
ketika terjadi pergerakan sosial untuk memperjuangkan atau melawan suatu
kebijakan. Misalnya gerakan Koin for Prita dalam kasus Prita versus RS Omni
beberapa waktu lalu. Bentuk lain keintiman dan komunalisasi masyarakat di dunia
maya antara lain juga ditunjukkan ketika terjadi bencana alam. Dalam konteks
ini Facebook berperan menjadi fasilitator yang mampu menumpuhkan solidaritas
masyarakat untuk membantu korban bencana. Seperti ketika terjadi peristiwa
meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta.
Facebook,
disebut-sebut merupakan generasi penerus Friendster yang pernah popular di
Indonesia. Saat itu, jumlah pengguna Friendster mencapai 60% dari pengguna
internet di Indonesia[2].
Banyak pengguna Friendster yang kemudian bermigrafi ke Facebook karena dianggap
lebih lengkap dan mengikuti kebutuhan pengguna. Facebook juga memungkinkan
penggunanya berinteraksi secara langsung dengan fasilitas chatting, tag foto, blog, game online, dll.
Karakteristik Pengguna Facebook
Dari
hasil survai Markplus Insight di 8 kota besar di Indonesia, ditemukan tiga
karakter pengguna Facebook berdasarkan faktor psikografi. Ketiga karakter
tersebut meliputi: negatif, moderat, dan positif. Kelompok negatif mengacu pada
pengguna internet yang cenderung memandang bahwa internet memiliki banyak sisi
negatif dan tidak baik untuk dikonsumsi, utamanya untuk anak-anak. Secara
psikografis, mereka ini umumnya cenderung konservatif dan memiliki pandangan
tradisional. Kelompok moderat mengacu pada pengguna yang menggunakan Facebook
sesuai kebutuhan mereka. Facebook bagi kelompok ini bukan sekadar situs
pertemanan, tapi lebih dari itu menjadi sumber informasi, sarana berkomunikasi,
dan sekaligus hiburan. Kelompok positif mengacu pada mereka yang menggunakan
Facebook agar tidak tertinggal tren. Facebook seolah tak bisa dipisahkan dari
kehidupan nyata. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Morahan-Martin dan
Schumacher (2003), memperlihatkan bahwa mereka yang merasa kesepian dan secara
sosial lebih gelisah, cenderung lebih rentan dalam menggunakan internet
ketimbang yang lain dalam menghadapi persoalan hidup. Waktu yang mereka
habiskan di internet seringkali mengganggu pekerjaan atau kehidupan sosial
mereka (Morahan Martin dan Schumacher, 2003). Lebih spesifik, mereka lebih
merasa bersalah dengan waktu yang mereka habiskan di internet dan meninggalkan
kehidupan sosial atau pekerjaan sosial mereka. Mereka juga seringkali mencoba
untuk menyembunyikan banyaknya waktu yang mereka habiskan untuk online Hasil
penelitian Markplus Insight juga menemukan adanya keberadaan kelompok ‘Net
Striver’. Yakni orang dan konsumen biasa yang berpikiran skeptis, mudah
membenci sesuatu, dan dengan mudahnya menyampaikan kebenciannya di forum-forum
interaksi online seperti Facebook dan Twitter.
Facebook dan Validitas Informasi
On the internet, Nobody knows You’re a
Dog
~Peter Steiner
Orang-orang
yang memiliki akun Facebook, aktif menggunakannya, dan menuliskan profil serta
statusnya. Pertanyaannya apakah informasi profil maupun status yang ditulisnya
tersebut valid, dapat dipercaya? Ada banyak pendapat tentang akurasi dan
validitas informasi yang harus disampaikan oleh seorang Facebooker (pengguna
Facebook) melalui profil atau status-statusnya. Menurut panduan internet sehat
yang pernah saya baca, disarankan untuk mengunggah informasi secukupnya saja,
termasuk imbauan untuk tidak menulis alamat, nomor telepon, dan
informasi-informasi yang bersifat pribadi lainnya. Disarankan pula untuk
berhati-hati ketika menulis status agar tidak selalu menuliskan apa yang sedang
dialami. Misalnya sedang sendirian di rumah, atau di rumah sedang tidak ada
orang. Sebab isi status yang demikian berpotensi memancing kejahatan terutama
ketika teman-teman di dunia Facebook kita bukan hanya orang yang kita kenal
secara nyata. Itu sebabnya, jika ada yang menambahkan kita atau mengirimkan
permintaan pertemanan, admin Facebook selalu bertanya apakah kita juga mengenal
dia di kehidupan nyata. Di sisi lain, akun-akun yang tidak mengisi profilnya
dengan data dan informasi yang benar, seringkali disebut akun pseudonym atau akun anonim. Meskipun
terkadang akun-akun seperti ini justru memiliki penggemar atau pengikut yang
berjumlah ribuan.
Ada
orang-orang yang di akun Facebooknya menampilkan kepribadian yang bertolak
belakang dengan kesehariannya. Jika sehari-hari ia dikenal sebagai orang yang
pendiam, di Facebook ia menjadi sosok yang berkepribadian periang, banyak
bicara, dan menyenangkan. Ada pula pria yang di keseharian sebenarnya sering
melakukan tindak kekerasan pada isterinya namun di Facebook ia tampil menjadi
sosok yang romantis, lemah lembut, penuh kasih sayang. Ambiguitas kepribadian
antara dunia nyata dan dunia maya seperti ini kerapkali disebut sebagai
kepribadian ganda.
Merujuk
pada pemikiran Herbert H. Mead mengenai konsep diri dalam teori interaksionisme
simbolik, sebenarnya dualisme wajah seseorang di media sosial adalah hal yang
wajar.. Menurut Mead, dalam diri seseorang senantiasa ada I– dan Me-. I- adalah
konsep diri yang sejati, yang sesungguhnya dari diri seseorang. Sementara Me–
adalah konsep diri yang kita bangun berdasarkan harapan atau tuntutan dari
orang lain dan orang-orang di sekitar kita. Konsep inilah yang muncul dalam
fenomena Facebook. Sebagai media sosial yang mengakomodasi kebutuhan akan ruang
publik, Facebook menjadi semacam galeri yang digunakan orang untuk menunjukkan
kediriannya. Sebagai ruang publik, tentunya kemudian apa yang ditunjukkan
adalah hal-hal yang baik. Sementara hal-hal yang buruk akan cenderung
disembunyikan. Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka Me-lah yang
seringkali muncul di dunia jejaring sosial sebagai bentuk upaya orang untuk
menyenangkan orang lain, mendapat perhatian, dan menjadi apa yang diinginkan
publik. Konsep ini juga sejalan dengan teori Dramaturgi yang disampaikan oleh
Erving Goffman. Bahwa seperti sebuah drama, manusia memiliki kecenderungan
untuk menampilkan hal-hal baik dari dirinya dan menyembunyikan yang buruk
dengan tujuan mendapatkan pujian atau memenuhi harapan orang lain.
Resiprositas
Ketika
seseorang melakukan aktivitas di akun Facebook miliknya, sebenarnya ia juga
mengharap adanya resiprositas. Resiprositas adalah proses timbal balik yang
terjadi ketika seseorang melakukan pengungkapan diri. Resiprositas dalam proses
pengungkapan diri di situs Facebook banyak ditemui pada sebagian besar
komunikasi yang terjadi antar pengguna. Tanpa bertatap muka secara langsung,
dapat terbangun hubungan yang intim melalui resiprositas pengungkapan diri dan
manajemen kesan yang dilakukan oleh pengguna seperti pada penataan profil,
aktif dalam forum diskusi, update
foto, comment, dsb.
Di
era internet, manusia ternyata berubah menjadi amphibi: mampu hidup di dua alam. Yaitu alam nyata dan alam maya.
Facebook bagi sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk penulis menjadi dunia
yang tak terpisahkan meski di saat yang sama kita hidup di dunia nyata.
Facebook dengan segala karakteristiknya yang interaktif, kerap dituding membuat
penggunanya lupa waktu, tidak produktif, mengalami ambiguitas kepribadian, dll.
Bahkan beberapa kantor memblokir akun Facebook di komputer mereka agar para
pegawainya tidak dapat mengakses ketika mereka sedang bekerja. Pada tataran ini
facebook dianggap mengganggu kinerja karyawan. Pertanyaannya, apakah memang
Facebook berbahaya? Apakah ia serupa candu yang menyebabkan orang tak bisa
berhenti mengonsumsinya? Ada beberapa orang yang berhasil menemukan teman-teman
masa kecilnya dan bahkan orang tua kandungnya yang terpisah selama
bertahun-tahun karena fasilitas Facebook. Artinya Facebook menghubungkan orang-orang
yang bahkan mungkin berjauhan hingga bermil-mil untuk bertemu. Berbagai
aplikasi yang disematkan pemilik Facebook, sangat membantu terhubungnya
seseorang dengan yang lain. Ada pula cerita-cerita tentang mereka yang
menemukan jodohnya melalui Facebook. Berkenalan, saling melihat profil dan
foto, berhubungan intens, hingga akhirnya bertemu langsung. Ini adalah salah
satu bentuk meningkatnya kedekatan emosional sebagaimana diungkapkan dalam
teori Penetrasi Sosial. Hipotesis teori ini adalah terdapat peningkatan linier
dari waktu ke waktu pada kedalaman dan keluasan pengungkapan diri.
Guru 2.0: Dari Ruang Kelas ke Ruang Facebook
Beberapa
aktivitas yang sering dilakukan pengguna Facebook antara lain sbb.: Update status· Menulis catatan· Berinteraksi dengan kawan· Berkirim pesan· Belanja online· Dengan latar belakang
penulis sebagai pengajar, berbagai aplikasi Facebook sangat membantu dalam
menyebarkan informasi secara masif mengenai sebuah program atau sebuah
kebijakan yang baru dibuat. Kebijakan yang seringkali hanya ditulis dan
ditempel ternyata -sangat tidak efektif karena tingkat keterbacaannya rendah.
Melalui Facebook, penulis juga juga dapat membuat sebuah grup dari setiap mata
kuliah yang diampu. Melalui grup tersebut sharing
informasi yang semula sulit dan terbatas untuk dilakukan, menjadi lebih mudah,
lebih cepat, dan lebih efektif. Setiap kali mengampu sebuah mata kuliah, maka
penulis akan membuat sebuah grup di Facebook dan mewajibkan mahasiswa menjadi
anggota dari grup tersebut. Melalui grup tersebut ruang-ruang kuliah berformat
digital menjadi lebih menarik dan hidup. Dengan karakteristik yang meniadakan
kasta sosial, hubungan antara guru-murid menjadi lebih cair. Guru dapat
melempar satu topik diskusi untuk kemudian dibahas dan dikomentari oleh para
mahasiswa.
Epilog
Penulis
ingin menutup artikel ini dengan jargon lawas bahwa segala hal sebenarnya
seperti dua sisi mata uang. Meski dikecam membuat orang tak produktif, namun
ada banyak manfaat yang bisa diperoleh para fesbuker melalui akun Facebook
miliknya. Mengenai sisi positif dan negatifnya, sesungguhnya semua bergantung
pada si pengguna. Bagaimanapun, Facebook hanyalah alat/teknologi. Yang
eksistensinya ditentukan oleh pengguna. Bukan sebaliknya. Teknologilah yang
kerap mengendalikan manusia yang memiliki kecenderungan menyukai kemudahan,
kecepatan, dan pemuasaan hasrat. Untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk yang
mungkin timbul, pengguna perlu belajar bagaimana menggunakan internet secara
baik dan sehat. Misalnya hanya mengonfirmasi permintaan teman dari orang yang
kita kenal di dunia nyata. Tidak mudah memberikan alamat dan nomor telepon pada
teman-teman yang baru kita kenal terlebih tidak kita kenal di dunia nyata.
Berpikir setidaknya 7X sebelum menulis sesuatu di Facebook agar tidak
menimbulkan masalah. Bagaimana prospek Facebook ke depan? Banyak ramalan
mengatakan bahwa Facebook akan tergusur oleh Twitter, Tumblr, dan akun-akun
lain. Menurut saya, sepanajang mampu terus beradaptasi dan melakukan inovasi,
Facebook masih akan terus digunakan. Terutama oleh kalangan menengah ke bawah.
Sebab, media sosial yang lain cukup rumit dalam penggunaannya dan tidak
memiliki aplikasi sebanyak Facebook. Netizen atau Fesbuker juga perlu belajar
bagaimana bersikap etis di dunia maya. Prinsip-prinsip yang sama sebagaimana ketika
hidup dan tinggal di dunia nyata.*[Tn]
Sumber Pustaka
Hasanuddin.
Kristofel Joseph, dkk. 2011. Anxietis/Desires. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer.
2012. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Nusamedia.
J.
Morahan & Martin P. Schumacher. 2003. Loneliness and Social Uses of The
Internet. Computers in Human Behaviour 19. 659-671.
Kappas,
Arvid dan Nicole C. Kramer (ed). 2011. Face to Face Communication over the
Internet. New York: Chambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar