--------------------------------------------------------------------
ABSTRAK
Di Indonesia, gerakan literasi media lahir sebagai bentuk keprihatinan
atas tayangan dan produk media yang dinilai mengabaikan fungsi mendidik.
Beberapa kelompok media menjadikan hiburan sebagai program utama karena
memenuhi selera rendah pasar. Kekerasan, pornografi, dan ketidakpatutan
kerapkali menjadi keluhan konsumen. Beberapa tahun lalu lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di bidang pemantauan media bertumbuhan. Namun karena
terkendala biaya operasional, kegiatan ini mati suri. Literasi media menjadi
gerakan parsial yang muncul di momen-momen tertentu dan kalah oleh bombardir
media massa. Belum selesai dengan urusan literasi media, kita harus menghadapi
derasnya perkembangan penggunaan internet dan teknologi informasi. Tahun 2011,
Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Jakarta mengadakan penelitian terhadap
250 siswa SMP-SMA di Kotamadya Depok, Jawa Barat tentang penggunaan internet di
kalangan remaja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hampir 60% siswa
mengenal internet sejak mereka kelas 4-6 SD. Situs favorit mereka adalah
facebook, twitter, Youtube, dan online games. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh informasi tentang efek positif dan negatif dari penggunaan internet.
Dari aspek negatif, dampak yang dirasakan berupa gangguan konsentrasi belajar,
telat makan, dan mengantuk. Sementara siswa yang aktif di media sosial dan game online
mengaku hal tersebut mengganggu
kehidupan sosial mereka terutama dalam hubungan relasional dengan
keluarga dan teman. Melihat fenomena ini, diperlukan sebuah upaya baik media
maupun digital literasi yang padu, terus menerus dan konsisten. Stikosa-AWS
sebagai sekolah tinggi di bidang ilmu komunikasi berkomitmen menjadikan media
dan digital literasi sebagai program di bidang pengabdian kepada masyarakat.
Penerapannya dilakukan melalui mata kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan), program
media outlook,
dan penelitian tentang penggunaan media.
Kata Kunci: remaja, literasi media, internet, media massa
1.
PENDAHULUAN
Literasi
media sejatinya bukan barang baru. Literasi media dianggap sebagai luaran dari
kegiatan Pendidikan Media (media
education). Gerakan ini sudah dimulai 33 tahun yang lalu, berawal dari
deskripsi dan definisi UNESCO dalam Konferensi di Grunwald tahun 1982 yang
kemudian dilanjutkan sebagai bahan diskusi di Toulouse (1990), Vienna (1999),
dan Seville (2002). Unesco dalam konteks ini lebih berfokus pada pendidikan
media yang lebih popular dan lebih luas skalanya (Tornero, 2008:103).
Definisi
paling mendasar dari gerakan literasi media berasal dari OFCOM, yang menyatakan
bahwa literasi media terdiri dari kemampuan mengakses, memahami, dan menciptakan
komunikasi dalam berbagai macam konteks. Terdapat 7 (tujuh) area kompetensi
yang berhubungan dengan literasi media.
· Penggunaan yang efektif dari teknologi
media untuk mengakses, menyimpan, mendapatkan kembali, dan berbagi konten untuk
bertemu individu-individu maupun komunitas yang saling membutuhkan dan
tertarik;
· Mengakses dan membuat pilihan-pilihan
informasi, berbagai bentuk media dan konten dari budaya-budaya yang bersumber
dari institusi dan kebudayaan yang berbeda;
· Memahami bagaimana dan mengapa isi media
diproduksi;
· Dapat mengkritisi baik dari aspek teknis,
bahasa, dan konvensi-konvensi yang digunakan oleh media massa termasuk pesan
yang mereka sampaikan;
· Kreatif menggunakan media untuk
mengekspresikan dan mengomunikasikan ide, informasi, dan opini;
· Mengidentifikasi, menghindari, atau
menentang isi media dan layanan yang mungkin tidak seharusnya, menyinggung
perasaan, atau merugikan;
· Menggunakan media dengan efektif dalam
pelaksanaan hak-hak demokratis dan tanggung jawab masyarakat sipil (Tornero,
2008:104-105).
2.
LITERASI
MEDIA DI INDONESIA
Gerakan
literasi media di Indonesia tumbuh sebagai sebuah kesadaran akan hak konsumen
mendapatkan informasi yang mendidik dan bermanfaat. Ini adalah fungsi media
massa yang melekat, mau atau tidak. Dari
berbagai diskusi yang penulis ikuti misalnya diskusi tentang rating
publik yang diselenggarakan oleh AC Nielsen dan mengundang narasumber dari SCTV
tahun 2009, rata-rata media massa mengakui adanya kewajiban untuk memberdayakan
publik. Namun sisi bisnis yang harus dikembangkan membuat mereka mengabaikan
peran tersebut dan memilih menuruti selera rendah pasar. Mendidik, bagi orang
SCTV bukanlah tugas mereka. Tugas itu seharusnya ada di tangan keluarga.
Gegap
gempita euphoria media massa
merupakan salah satu dampak dari kebebasan pers yang lahir pada 1999. Euforia
itu terus berlanjut di kemudian hari dan makin riuh dengan kehadiran
televisi-televisi swasta dan perkembangan internet. Tentu tak dapat dielakkan bahwa komersialisasi industri media massa
dibutuhkan agar perusahaan media dapat bertahan dan terus berkembang.
Problemnya adalah pada kemampuan masyarakat
untuk memilih dan mengonsumsi isi media dengan cerdas.
Dua
subtema dari isi atau konten media massa yang meresahkan adalah kekerasan dan
pornografi. Ini bukan hanya di media massa namun juga dalam bentuk
permainan-permainan digital (game online).
Pada tahun 1967, Gerbner dan rekannya di University of Pennsylvania menyusun
indeks kekerasan di televisi dan mulai menghitung adegan atau tayangan yang
mengandung kekerasan. Setelah lebih dari tiga dekade, indeks Gerbner tidak
menunjukkan perubahan signifikan dalam volume kekerasan yang ditunjukkan.
Kekerasan menurut Gerbner memberikan efek negatif bagi masyarakat. Orang akan
beranggapan bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya ketimbang yang sebenarnya
dan cenderung untuk melindungdi dirinya sendiri (Vivian, 2008:494).
Hal-hal
inilah yang melatarbelakangi bertumbuhnya gerakan-gerakan literasi media di
masyarakat. Jika kita merujuk pada definisi yang dinyatakan oleh Komisi Eropa, literasi
media melibatkan berbagai keterampilan dan kemampuan yang berhubungan dengan
media, citra, bahasa, dan pesan. Literasi media dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi kekuatan di balik gambar,
suara, dan pesan yang kita sekarang kita hadapi setiap hari dan menjadi bagian
penting dari budaya kontemporer kita, serta untuk berkomunikasi secara kompeten
menggunakan media yang tersedia, secara pribadi. Literasi media berfokus pada
seluruh jenis media massa, termasuk televisi, film, radio, dan rekaman musik,
media cetak, internet, dan berbagai bentuk komunikasi digital baru lainnya.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, literasi
media adalah kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi berbagai informasi
yang terdapat di dalam media massa dan mengomunikasikannya dalam berbagai macam
format.
2.1
Perguruan Tinggi Sebagai Basis Literasi
media
Perguruan
tinggi dengan program tridarma berupa pengajaran, penelitian, dan pengabdian
masyarakat, merupakan basis yang paling tepat sebagai pegiat literasi media. Melalui lembaga penelitian dan pengabdian
masyarakat (LPPM), masing-masing perguruan tinggi dapat berperan aktif
melakukan upaya-upaya literasi media. Hal ini tentu membutuhkan komitmen dari
pemimpin perguruan tinggi, LPPM sebagai organisator kegiatan, dan terutama
dosen sebagai pelaksana.
Kegiatan literasi media di perguruan tinggi dapat
menjadi program yang konsisten dan berkelanjutan. Inilah yang membedakan dari
komunitas-komunitas informal yang terkadang terkendala pendanaan dalam
pelaksanaannya. Dalam perguruan tinggi, dana untuk melaksanakan kegiatan dapat
berasal dari beberapa sumber: pertama, dana institusi sebagai bagian dari
program pengabdian masyarakat. Kedua, dana dari pihak ketiga yang bersedia
menjadi sponsor. Ketiga, perguruan tinggi dapat memanfaatkan dana hibah dari
pemerintah baik untuk penelitiannya maupun untuk program pengabdian
masyarakatnya.
2.2 Literasi media di Stikosa-AWS
Stikosa-AWS
adalah sekolah tinggi yang lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap kualitas
jurnalis pada tahun 60-an. Saat itu banyak jurnalis yang tidak memiliki
pendidikan formal. Keprihatinan itu memicu para petinggi PWI Jawa Timur dan
Surabaya Post, sebagai koran terbesar saat itu untuk membidani lahirnya lembaga
pendidikan Stikosa-AWS. Sebagai sebuah kampus komunikasi, Stikosa-AWS merasa
bahwa tugas menyadarkan masyarakat untuk ‘melek media’ ada di pundaknya. Maka,
mulai tahun 2010, program literasi media menjadi salah satu program pokok dalam
bidang pengabdian masyarakat. Beberapa bentuk kegiatan yang telah dilakukan
adalah sebagai berikut.
Program
awal yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian tentang media habbit
atau kebiasaan bermedia masyarakat. Penelitian ini dilakukan saat pelaksanaan Kuliah
Kerja Lapangan (KKL) yang berlangsung setiap semester genap. Hasil dari
penelitian ini kemudian dipaparkan saat diskusi dan seminar literasi media. Ada
kalanya seminar dilakukan dengan objek massa perempuan melalui komunitas
ibu-ibu PKK (dasawisma). Kali lain seminar dilakukan dengan objek massa remaja
lewat karang taruna, atau masyarakat umum. Dalam kegiatan literasi media,
Stikosa-AWS bekerja sama dengan lembaga lain terutama sebagai
pemateri/narasumber misalnya dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa
Timur.
Tabel 1. Daftar kegiatan terkait literasi media yang
telah dilakukan sbb.:
No
|
Nama
Kegiatan
|
Tahun Pelaksanaan
|
Tempat
|
Sasaran
|
Keterangan/Narasumber
|
1
|
Penelitian
Bersama “Potret Sinetron Remaja 2009”
|
2009
|
Masing-masing
perguruan tinggi
|
Seluruh
sinetron remaja selama 2009
|
Merupakan
kegiatan penelitian bersama beberapa perguruan tinggi dan YPMA Jakarta
|
2
|
Focus
Group Discussion
Literasi media
|
2011
|
Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya
|
Seluruh
perguruan tinggi yang terlibat dalam
penelitian bersama YPMA
|
Perguruan
tinggi yang hadir berkomitmen untuk melaksanakan kegiatan literasi media
melalui lembaganya
|
3
|
Seminar
Literasi media
|
Juni
2013
|
Dusun
Bulukerto, Batu, Malang
|
Masyarakat
Umum/warga desa
|
Diva
Claretta, M.Si & Donny Maulana
Arief, S.Sos KPID Jatim)
|
4
|
Workshop Media
& Digital Literasi
|
Juni 2013
|
Dusun Bulukerto,
Kecamatan Batu, Malang
|
Ibu-Ibu PKK
|
Dosen
Stikosa-AWS
|
5
|
Seminar
”Kiat
Meyikapi
Pengaruh
Multimedia
terhadap
Anak”
|
2014
|
Bakesbanglitpol
Surabaya
|
Kepala Sekolah
SMP dan SMA Kota Surabaya
|
Dosen
Stikosa-AWS
|
6
|
Workshop Literasi
media
|
Juni 2014
|
Dusun Kungkuk,
Kecamatan Batu, Malang
|
Ibu-Ibu PKK
|
Dosen
Stikosa-AWS
|
7
|
Penelitian
tentang penggunaan media sosial di kalangan remaja
|
Oktober 2014
|
Surabaya
|
Remaja
|
LPPM
|
7
|
Workshop Membangun
Radio Komunitas
|
Juni 2015
|
Dusun Bendosari,
Pujon, Malang
|
Karang Taruna
|
Dosen
Stikosa-AWS
|
8
|
Penelitian
tentang Media Habbit di Masyarakat Pedesaan
|
Juni 2015
|
Dusun Bendosari
|
Warga Dusun
|
Dosen
Stikosa-AWS bersama mahasiswa
|
9
|
Talkshow Bincang Media di JTV
|
2 minggu sekali
setiap Senin malam
|
Surabaya
|
Masyarakat Jawa
Timur
|
Dosen: Dra.
Sirikit Syah, M.A.
|
2.3
Kaleidoskop Media dan Pernyataan Sikap
Bentuk
kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan kegiatan “Media Outlook” setiap akhir tahun.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang stake
holder yang relevan, bertujuan mengevaluasi dan mereview apa yang terjadi di dunia media massa dan menyampaikan hasil
rekomendasinya kepada pihak-pihak yang
terkait baik dari instansi pemerintah sampai pada industri media massa.
Pada tanggal
6 Januari 2014, Stikosa-AWS menyelenggarakan kegiatan Kaleidoskop Media 2013
dan Media Outlook 2014. Dihadiri oleh para pemerhati media dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Pers Surabaya, dosen-dosen dari kampus komunikasi di Surabaya, staf
dari Biro Humas Pemerintah Kota Surabaya, dan Komisioner KPID (Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah) Jawa Timur, kegiatan ini menghasilkan pembentukan Forum
Pemerhati Media Jawa Timur. Dari kegiatan ini forum juga menghasilkan
pernyataan sikap dan sekaligus rekomendasi untuk para praktisi dan industri
media. Berikut pernyataan sikap beserta rekomendasinya.
Pernyataan Sikap Forum Pemerhati Media Jawa
Timur
Dengan ini, kami FORUM
PEMERHATI MEDIA JAWA TIMUR menyatakan keprihatinan akan berbagai permasalahan
media massa Indonesia. Berdasarkan refleksi perjalanan media di tahun 2013,
kami menengarai adanya upaya mempolitisasi media massa. Media yang seharusnya
berpihak pada kepentingan publik, kini diseret-seret oleh kepentingan penguasa
modal dan dijadikan corong ampuh komunikasi politik.
Untuk itu, kami meminta
kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) Jawa Timur, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Jawa Timur untuk melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap
isi media massa.
Sebagai bagian dari
publik, kami menuntut isi media yang berpihak kepada masyarakat dan tidak
menjadi pejuang kepentingan sebagian orang, apalagi kepentingan untuk merebut kekuasaan.
Kami juga memintak seluruh lembaga yang kami sebutkan diatas bekerja maksimal
dalam melindungi kebebasan pers dalam arti yang sebenar-benarnya.
Surabaya,
13 Januari 2014,
FORMED
JATIM
1.
Ismojo Herdono (Ketua Stikosa-AWS)
2.
Wolly Baktiono (PRSSNI Jawa Timur; Dosen
Stikosa-AWS) :
3.
Tjuk Suwarsono (Konsultan PR, Dosen
Stikosa-AWS) :
4.
Yokhanan Kristiono (Dosen Stikosa AWS, Web
Designer)
5.
Mas’ud Sukemi (Dosen Stikosa-AWS)
6.
Atho’illah (LBH Pers Surabaya)
8.
Zyaifudin Dzuhrie (Didin) KPID/2013 (dosen
IAIN & Kopertis wilayah 4 mojokerto)
9.
Surochiem Abdussalam (Dosen Universitas Trunojoyo
Madura; mantan komisioner KPID)
10. Zainal
Arifin Emka (mantan Wapimred Surabaya Post, Dosen Stikosa-AWS)
11. Finsentius
Yuli Purnama (Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mandala)
12. Eko
Rinda (KPID Jatim)
13. Risa
(Humas Pemkot)
14. Arief
Lukman Hakim (Biro Humas Pemrov)
15. Maulana
Arief/Donny ( Ketua KPI Jatim)
16. Amin
Istighfarin (Yayasan Prapanca)
17. Sirikit
Syah (Lembaga Konsumen Media dan Dosen Stikosa-AWS)
18. Ratna
Puspita Sari (Dosen AWS)
19. Suprihatin
(Dosen AWS)
20. Putri
Aisyiyah (Dosen Stikosa-AWS)
Sedangkan
beberapa catatan yang dikumpulkan melalui forum diskusi tersebut adalah sebagai
berikut:
Pada
6 Januari 2014 Stikosa-AWS mengundang para pemerhati media di Jawa Timur untuk melakukan
refleksi perjalanan media di tahun 2013. Beberapa hal yang menjadi catatan di
forum ini adalah:
1.
Selama tahun 2013, eksploitasi media
sebagai kendaraan politik banyak dilakukan. Dan, tren ini ditengara akan
berlanjut dan semakin nyata sepanjang 2014, terutama menjelang Pilpres 2014.
2.
Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh
media massa yang keluar dari fungsi pokoknya, utamanya media broadcasting. Masih belum ada sanksi
tegas pada media broadcast yang
melakukan pelanggaran, sehingga dalam hal ini fungsi KPI dipertanyakan
3.
KPI kurang menyoroti pelanggaran yang
bersifat fundamental, KPI hanya berkutat pada isi acara yang bersifat hiburan dan infotaiment.
4.
Ada beberapa informasi umum yang perlu pengawasan seperti: isu-isu korupsi, teror,
politik. Pada beberapa media banyak terjadi kasus kesalahan pemberitaan.
5.
Kasus penyadapan Wikileaks adalah fenomena
menarik di 2013. Fenomena ini bisa menjadi indikator kemajuan kebebasan pers
atau justru menjadi petanda mundurnya
etika jurnalisme.
6.
Selama 2013, media online Indonesia (portal berita online)
dalam pemberitaannya banyak yang keluar dari kode etik jurnalistik: menayangkan
sadisme, pencemaran nama baik, dan menggunakan narasumber yang tidak valid.
2.4 Format Program Literasi Media
Berdasarkan
program-program yang telah dijalankan, penulis merasakan bahwa bentuk
diseminasi semacam seminar yang bersifat satu arah kurang cocok digunakan.
Sebab, audiens cenderung pasif dan hanya menerima informasi. Walaupun
narasumber yang dihadirkan adalah orang-orang yang berkompeten dan memang
bekerja di bidang pengawasan media semacam KPID. Maka Stikosa-AWS melalui LPPM
mengembangkan sendiri format program untuk kegiatan literasi media yang dapat
diduplikasi dan dikembangkan oleh lembaga lain sesuai karakteristik audiens. Pertama,
kegiatan bisa diawali dengan penelitian untuk mengetahui kebiasaan bermedia
masyarakat. Kedua, hasil dari penelitian tersebut didiseminasikan melalui
seminar atau diskusi. Ketiga, kegiatan ditindaklanjuti dengan training of
trainer (ToT). Diharapkan mereka yang mengikuti pelatihan dapat menularkan
pengetahuannya kepada yang lain dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu diharapkan pesertanya adalah orang-orang yang
dianggap memiliki kekuatan untuk mengubah lingkungannya.
Format
program yang dimiliki Stikosa-AWS sebagai berikut:
Tabel
2. Deskripsi Kegiatan
NO
|
KEGIATAN
|
DESKRIPSI
|
WAKTU
|
1.
|
Pembukaan
Pemutaran
Film/sinetron
|
DPL
Sampel film
|fasilitator:
|
15 menit
|
2.
|
Diskusi /tanya
jawab
|
Fasilitator:
|
15-30 menit
|
3.
|
Role Play
|
Fasilitator: Titien
|
15 menit
|
4.
|
Latihan memilih
program
|
Fasilitator:
|
15 menit
|
5.
|
Pembahasan &
Perumusan
|
Fasilitator:
|
15 menit
|
Dalam
diskusi dibutuhkan pertanyaan panduan agar diskusi terarah dan fokus. Format
yang digunakan misalnya sbb.
•
Kalau di rumah siapa
yang pegang remote televisi bu?
•
TV di rumah ada
berapa?
•
Penempatannya di mana
saja?
•
Jam berapa mulai
menyalakan TV?
•
Kalau menonton
televisi bersama siapa?
•
Tayangan apa yang
disukai?
Kenapa?
•
Jam berapa TV
dimatikan?
•
Stasiun TV mana yang
paling menarik?
•
Mengapa?
•
Artis/Tokoh favorit?
•
Isu paling aktual?
•
Dll (dikembangkan
berdasarkan hasil diskusi)
Dalam format role play, dilakukan latihan
identifikasi program bagi orang tua yaitu dengan melakukan pendampingan saat
anak-anak menonton televisi atau bermain games.
Contoh format yang digunakan sbb.:
Tabel
3. Klasifikasi dan Identifikasi Tayangan Untuk Anak
Berbahaya!
|
Hati-Hati
|
Aman
|
3. PENUTUP
Kegiatan
literasi media dan termasuk di dalamnya literasi digital perlu dikembangkan lebih
komprehensif dengan bergandengan tangan
bersama lembaga lain. Dengan demikian kegiatannya akan bersifat masif, terus menerus, dan konsisten.
DAFTAR
PUSTAKA
Carlsson,
Ulla, S. Tayie, G.J.Delaunay, dan J.M. Tornero. 2008. Empowerment Through Media Education. Hal. 103-105.
Suprihatin.
2014. Media Sosial dan Perubahan Budaya
Membaca. Hal. 65.
Suprihatin,
dan J. Kristiyono. 2015. Pola Penggunaan
Media di Kalangan Masyarakat Pedesaan.
Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Hal. 494.
Komentar
Posting Komentar